“Love is complicated.”
Setidaknya untuk saat ini bagi Yosefina,yang biasa dipanggil Yos. Di kamar berukuran 3×3 dia memecahkan celengan memori yang sudah lama ditabungnya.Kamar minimalis, tak ada meja rias kebutuhan gadis dewasa awal sepertinya. Apalagi cermin lebar dan panjang untuk melihat keutuhan fisiknya dan memastikan dia masih cantik. Setidaknya cantik di kedua bola matanya. Manik matanya bergerak dan melekat secara bergantian di beberapa sudut kamarnya. Kasur dengan seprai putih, lengkap bantal dan sehelai selimut. Ukuran kecil untuk sendiri,karena dia tak pernah membayangkan akan hidup bersama seorang pria mana pun. Dia tersenyum sendiri “Dasar, gadis gila!” batinnya. Di sudut lain sepasang meja dan kursi menjadi tempat favoritnya.Tempat menuangkan imajinasi yang terkadang terlalu jauh berlari meninggalkan realita hidupnya. Sekian banyak buku yang dibacanya masih tertata rapi. Tangannya refleks meraih satu buku. Buku tempat curahan hatinya yang terdalam tentang rasa. Berisi ratusan sajak yang tertuang begitu saja. Gambaran kehampaan, kegelisahan, keangkuhan, kebodohan, kegilaan, kemunafikan, dan kebahagiaannya. Diambilnya pena, menambah lagi sajak puisi di buku itu. Tiba-tiba ekor mata kirinya terhubung pada sepotong baju putih serupa gaun. Badannya spontan berputar 90 derajat untuk menatap lurus dan pasti benda itu. Memorinya berputar 360 derajat kala di masa kanak-kanak ia menemukan sosok indah di balik baju serupa yang tergantung di kamarnya. Memori ini membawanya menemukan begitu banyak lika liku percintaan yang kadang hampir membobol pertahanan dirinya untuk pilihan hidup ini.
“……Yos, aku tahu ini tak pantas untuk kusampaikan padamu.Sejak pertama melihatmu, aku sangat menyanjungmu. Paras cantik dengan senyum bibir yang manis, tatapan mata pasti namun lembut
dan penuh rasa. Semuanya indah bagiku dan aku mencintaimu. Bahkan, sebelum namamu kuketahui, aku telah jatuh cinta padamu. Seminggu aku mengabaikan rasa itu, namun sosokmu seakan melekat di kelopak mataku, membuat tidurku tak nyenyak saat menutup mata. Mengisi waktu malamku yang selalu ditemani bayang bayangmu,aku membuatkan sebuah kalung rosario. Di ruang kudus,aku mendoakanmu. Namun, aku menyadari bahwa doa tak bisa mengubur rasa cintaku. Kucoba memahami, rasa ini tak pernah salah.
Aku manusia yang membawa serta rasa di dalam ragaku. Bukankah aku dicipta untuk mencinta? Bukankah hadirku juga karena cinta? Lalu, mengapa kini aku seakan menganggap cintaku padamu sebuah petaka? Pernahkah cara hidup yang kita pilih melarang untuk mencinta? Dalam khusyuk doa, kubawa engkau ke hadapan Sang Pencipta. Berharap Dia merestui cintaku padamu. Aku mulai serakah, ingin memilikimu tanpa menghiraukan nuraniku. Sejenak aku lupa diri, bahwa cintaku tak bisa memiliki. Bukankah cinta tidak melulu tentang memiliki dan dimiliki? Namun, cinta selalu tentang kurban: kurban hasrat dan kurban rasa.
Yos, aku hanya ingin sedikit merasa lega, bila engkau mengetahui rasaku ini. Tak kuharapkan balasan cinta darimu. Hanya kutawarkan persahabatan, jika engkau mau. Seperti persahabatan antara St. Fransiskus Asisi dengan St. Klara dari Asisi dan antara St. Yohanes dari salib dengan St. Theresia Avila. Persahabatan yang menghantar ke jalan kekudusan. Terimalah rosario ini dan bawa aku dalam doamu,
agar aku bisa tulus mencintai dan mendoakanmu setia di jalan yang kamu pilih dan aku pun tetap setia di jalanku sambil menyadari rasa cintaku indah untukmu.”
Salam dan doaku:
Yosafat
Ini adalah pertama kali Yos menerima pernyataan cinta dari pria setelah dia memilih jalan hidup sebagai suster di sebuah biara. Perjumpaan dengan Yosafat yang terjadi tanpa rencana telah menyadarkannya akan banyak petualangan cinta yang tak mudah dihadapinya di jalan ini. Kali ini dia masih biasa saja dan tidak merasa situasi ini serius. Toh pria itu hanya menyampaikan lewat sepucuk surat yang tidak harus berbalas. Sifatnya yang cuek membawanya pada keputusan untuk menyimpan surat begitu saja, memakai kalung rosario, dan tidak terpikir sama sekali membalas surat itu. Ditambah lagi, dia memang tidak memiliki rasa yang sama seperti perasaan pria itu terhadapnya. Mungkin inilah yang disebut “gayung tak bersambut.” Yah, di sebuah kota yang dingin, Yos bertemu dengan pria hangat, namun dibalasnya dengan sikap dingin.
Yos masih bertemu beberapa kali dengan Yosafat sebelum dia kembali ke kota lain tempat pembinaan selanjutnya. Namun dalam setiap pertemuan, dia bersikap biasa saja. Sehari sebelum kembali, di ruang tamu Yosafat menemui Yosefina.
“Terimakasih ya Yos, kamu tidak pernah menghakimiku dengan rasa yang kuungkapkan padamu. Aku memang tak menerima balasan darimu, namun dengan sikapmu yang tak berubah, tetap ramah padaku, membuatku yakin bahwa kamu sangat memahami rasa ini. Selamat melanjutkan petualangan suci di jalan-Nya ya. Kuharap kita bertemu lagi di jalan yang masih sama.”
Seperti biasa, Yos hanya tersenyum ramah dan berlalu meninggalkan kenangan baru untuk Yosafat.
***
Lembaran baru telah terbuka oleh jemarinya. Terasa berbeda dari lembaran sebelumnya. Ini lebih halus dan tebal. Matanya mulai fokus menatap sosok pengantin di lembar foto. Pastor yang berdiri di belakang pengantin dan dirinya di sebelah kiri pengantin pria.
“Hah, pria ini. Bisa-bisanya dia yang sudah memutuskan untuk menikahi gadis pilihannya dengan gampang ingin melepaskan demi wanita sepertiku.”
Yos tersenyum sinis mengenang kebingungannya lima tahun lalu ketika dia berkarya di sebuah paroki untuk mengurusi liturgi di gereja itu.
“Suster, tadi calon pengantin pria menanyai tentang suster. Bisa-bisanya dia bilang “seandainya suster itu mau saya bisa gantikan calon istriku dengan dia. Sudah cantik, manis, lembut, sopan, ramah, dan terutama ternyata dia paribanku.” Kata sekretaris paroki yang mengurusi administrasi untuk perkawinan pria itu. Sr. Yos bukannya senang, tapi merasa kesal dan bingung, kenapa ada pria berpikiran sebejat itu.
Tak bisa dipungkiri bahwa ibu sang pria juga merasa akrab dengan Sr. Yos sejak pertama kali saling berkenalan karena urusan pernikahan anaknya. Dia memanggil Sr. Yos dengan panggilan Anggi. Walaupun bingung dan kesal dengan pria itu, Sr. Yos tetap ramah dan mendukungnya. Seperti Bunda Maria, ia menyimpan semua perkara itu dalam hatinya dan mendoakan dalam intensi khusus di setiap ibadat.
“Tuhan, saya tidak mengerti apa yang terjadi di antara kedua pengantin ini. Mengapa cinta sang pria begitu rapuh, hingga tergoda pada pandangan sesaat saja. Kuserahkan dalam penyelenggaraan-Mu bahtera rumah tangga mereka. Kiranya Engkau menjadi Nakhoda dalam mengarungi lautan kasih agar mereka setia sampai akhir menggenggam cinta yang Kautitipkan.” Begitulah Sr. Yos mendoakan sang pria dan istrinya.
***
“Uhmmmmm hahhhhh,”
Sr. Yos mengatur napas yang terasa berat. Tiba-tiba jiwanya kembali di sini dan kini. Di kursi yang sedari tadi ia duduki, ia mengulas rasa yang ada dan terlalu sulit dilepaskannya. Ternyata dia terperangkap dalam cinta yang sulit dipahaminya. Ingin melepas, hatinya tak sanggup. Ingin menggenggam, rasanya tak mungkin. Sedari tadi dia sudah terlarut dalam godaan hasrat mengenang cerita cintanya. Kali ini rasanya berbeda. Begitu sulit baginya melepaskan khayalan indah bersama pria yang sedang akrab dengannya. Usianya mungkin juga membangkitkan hasrat itu semakin kuat. Bila tidak memilih menjadi suster, dia sudah tentu berada pada fase menentukan pasangan hidup. Pria ini memenuhi kriteria pilihannya. Membawa hatinya menolak abai akan rasa itu.
“Hai Sr. Yos. Menurut suster apakah seseorang berdosa bila jatuh cinta pada kaum selibat?” Pertanyaan Sam dalam WA chat membuat Sr. Yos penasaran sekaligus bahagia. Akhirnya, pria itu bisa juga membahas topik yang berbeda dari tugas harian mereka.
“Menurutku, sejauh masih menjaga relasi yang wajar dan tetap mendukung mereka dalam panggilan, itu bukan dosa. Kan rasa cinta itu alami. Tak ada yang bisa mengaturnya. Menjadi dosa, bila cara mencintainya membuat kaum selibat terpaksa mengingkari sumpahnya dan mengabaikan nuraninya.” Penjelasan singkat Sr. Yos membuat Sam semakin yakin dengan perasaannya.
“Syukurlah suster, sekarang saya bisa lega. Ternyata saya tidak berdosa mencintai suster, hehehe.”
Balasan ini membuat hati Sr. Yos senang sekaligus gundah. Jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Pipinya merona dan sorot matanya begitu cerah. Tak bisa disembunyikan, dia sangat senang karena ternyata mereka berada dalam rasa yang sama. Tapi, rasa gundah juga tak kalah kuatnya karena dia tahu akan semakin sulit baginya mengolah rasa cinta itu. Dia ingat apa yang dikatakan seorang Pastor dalam kotbah, “Godaan semakin kuat ketika kesempatan terbentang luas.”
Perjumpaan yang sering terjadi saat bertugas Misa harian membuat mereka semakin akrab. Sejak pandemi Covid-19, tiap hari mereka menanggungjawabi audiovisual untuk Misa Live Streaming di Youtube paroki. Pria itu nampak selalu ceria bila sudah bersamanya dan semakin sering curhat padanya. Potongan-potongan kisah keakraban mereka menguasai pikiran Yos. Dia belum rela melepas hasrat itu.
Memeluk hasrat sesak di dada
Kala rasa bertemu arah
Memaksa hati menolak yakin
Walau angan kian melayang
Sinar kalbu tiada meredup
Nestapaku di ujung deraian air mata
Menanti jawab dari Sang Kasih
Penggalan syair di ujung pena membuat Sr. Yos semakin yakin mencari makna di balik kisah cintanya. Cinta tak pernah berusaha menyiksa, tapi manusia sering menyiksa diri karena cintanya yang terlalu memaksa. Yos tak berhenti pada garis hasrat. Dia masih berlari mengejar cinta yang suci. Memandang Cinta Sejati yang setia merangkul di garis akhir.
Pesan: “Mencintai Tuhan berarti meninggalkan hal-hal yang mengikat dan menghambat, lantas mengikuti jalan yang Ia tunjukan dengan cinta yang tanpa batas. “
By: Sr. Kallista Sinurat KSSY