KONGRGASI SUSTER SANTU YOSEF (KSSY) MEDAN SEJARAH SINGKAT PERJALANAN HIDUPNYA DARI AMERSFOORT SAMPAI KE MEDAN
Pada abad XIX situasi Gereja Katolik di negeri Belanda masihlah sangat tidak mudah. Betapapun umat Katolik mulai berkembang, akan tetapi pemerintah Belanda belum mengakui hirarki Gereja Katolik, umat Katolik masih sering ditekan bahkan ditindas. Pembinaan untuk menjadi imam ataupun biarawan biarawati tidak memungkinkan di tengah situasi seperti itu, maka jika ada orang yang ingin menjadi imam atau pun religius terpaksa pergi antara lain ke Belgia, Jerman atau Perancis. Tetapi lama kelamaan muncul sekelompok perempuan yang hidupnya menyerupai hidup membiara yang disebut dengan “klopyes” serikat awam. Mereka, terdorong oleh cinta kasih kepada Kristus, merelakan diri membantu para imam untuk mengajar agama, membantu orang miskin serta melayani dan merawat orang-orang sakit dan jompo. Mereka melayani karena mereka melihat bahwa dalam diri orang yang sakit dan yang menderita itu belaskasih Allah harus diwujudnyatakan.
Pada tahun 1834, akhirnya Pemerintah Belanda mengakui Hirarki Gereja Katolik. Hal ini terjadi terutama karena mengakui pelayanan Gereja kepada orang-orang yang menderita dalam masyarakat. Perubahan mulai banyak terjadi.
Sekitar tahun 1840-an, Amersfoort termasuk kawasan miskin di Negeri Belanda. Di kota itu terdapat banyak orang yang miskin, sakit, jompo dan menderita. Dalam kondisi seperti itu Gereja tergerak hatinya untuk menolong mereka yang menderita. Pastor Vermeulen sebagai pastor paroki Santo Fransiskus Xaverius beserta dua orang pastor lainnya, yaitu Pastor van Hattem dan Pastor Henricus Blom berinisiatif menyediakan tempat untuk menampung orang-orang yang menderita, jompo, terlantar dan miskin itu. Tempat itu itu kemudian disebut sebagai rumah amal.
Tanggapan positif dari masyarakat sekitar diterima dengan adanya sukarelawan yang bersedia membantu pastor Paroki. Mereka ini tergerak karena belaskasihan serta cinta akan Kristus dan sesama manusia. Mereka adalah Antonius Hunks dan seorang putri Elisabeth Frits (lahir 8 Oktober 1806). Keduanya adalah anggota dari Ordo Ketiga Santo Fransiskus Asisi, yang merupakan suatu Serikat awam (Ordo Fransiskan Sekular). Mereka tidak menikah. Tetapi orang-orang di rumah amal itu memanggil mereka sebagai “Bapak” dan “Ibu”. Kemudian sukarelawan baru bertambah yaitu Maria Greshof, yang lahir di Amersfoort pada tanggal 19 Januari 1811. Dia juga adalah anggota dari Ordo Ketiga Santo Fransiskus.
Dalam karya pelayanan dengan semangat kemiskinan tersebut, mereka sering mengalami penyelenggaraan Ilahi. Mereka mendapat bantuan yang tidak mereka sangka-sangka. Meskipun tidak memiliki banyak uang namun dengan uang yang seadanya itu mereka membeli satu unit rumah di Jalan Utrech di kota Amersfoort untuk pelayanan mereka yang diberi nama “Rumah Santu Yosef” dan diberkati pada tanggal 4 Mei 1841. Elisabeth Fritz dan Maria Greshof yang setelah sekian saat melayani di rumah itu kemudian dipanggil dengan sebutan “Suster”. Dari sinilah asal mula nama “Suster Santu Yosef”.
Benih yang sudah ditaburkan, tumbuh dan berkembang. Demikian pulalah karya pelayanan yang mereka lakukan semakin berkembang. Semakin banyak orang yang bergabung untuk melayani, dan semakin banyak juga orang sakit, jompo, miskin dan terlantar. Mereka semua dilayani, diasuh dan dirawat dengan baik, penuh cinta kasih, dan perhatian sehingga mereka merasa bahagia tinggal di rumah itu. Pada tanggal 13 November 1844, Pastor Vermeulen yang adalah pastor paroki dan yang bertanggungjawab menangani rumah itu meninggal dunia. Pastor Henrikus Blom kemudian dikukuhkan menjadi Pastor Paroki dan bertanggungjawab untuk melanjutkan pemeliharaan rumah amal dan juga membimbing kehidupan rohani para gadis relawan yang melayani di rumah amal tersebut.
Karena jumlah orang-orang miskin yang diterima di rumah amal semakin banyak maka rumah amal itu perlu diperluas. Mereka membeli rumah lagi yang digunakan untuk keperluan tempat mencuci, mengelantang, rumah potong, tempat pembakaran roti, gudang gandum dan gudang makanan serta gudang kayu. Mereka karenanya memiliki sarana dan tempat yang cukup luas untuk berkarya akan tetapi pendapatan dari rumah itu sedikit sementara mereka butuh biaya operasional. Maka lalu diputuskan untuk menerima penghuni wanita yang mampu membayar tinggi atau yang mau membayar tempat untuk seumur hidup.
Dalam perkembangan kemudian karya pelayanan tersebut semakin berkembang. Rumah amal ditambah lagi. Empat rumah dibeli yang diperuntukkan khusus untuk pria. Sejak saat itu penghuni pria dan wanita dipisahkan, demikian pula dengan para pengasuhnya. Pengasuh wanita disebut dengan Suster dan pengasuh pria disebut Bruder. Namun demikian, pada saat itu mereka belum resmi dikukuhkan sebagai tarekat religius.
Oleh karena itu dengan mempertimbangkan segala perkembangan yang ada maka pada tahun 1870, Pastor Henrikus Blom membentuk persekutuan rohani bagi “suster-suster” dan “bruder-bruder” yang melayani orang-orang sakit itu. Mereka semua masuk menjadi anggota Ordo Ketiga St.Fransiskus dan hidup menurut peraturan Ordo Ketiga tersebut. Regula dan aturan hidup Ordo Ketiga tersebut membuat semangat pelayanan mereka semakin berkobar. Kesalehan hidup, kesederhanaan serta kesetiaan pelayanan mereka membuat karya amal yang mereka tangani semakin berkembang.
Ketika Elisabeth Frits yang diangkat oleh Pastor Henrikus Blom memimpin rumah amal itu semakin menurun kesehatannya, dia memohon supaya tugasnya digantikan oleh yang lain dan permohonan itu dikabulkan oleh Pastor Henrikus Blom. Maka pada tanggal 2 Januari 1870, dilakukan pemilihan untuk menentukan pemimpin rumah amal dan suara bulat jatuh pada Agnes Van Doorn dan sejak itu Agnes Van Doorn memimpin rumah amal tersebut, dan memimpin para relawan perempuan yang membantu di rumah amal tersebut. Kemudian setelah pergantian kepemimpinan tersebut pada tahun 1871, Pastor Henrikus Blom mempertimbangkan perlu menambah dua orang pimpinan rumah amal agar rumah amal dapat terus berjalan dan berkembang. Kedua orang itu adalah Tuan C. Brom dan Tuan Lagerwey yang sudah sejak awal adalah sebagai penderma dan pendukung rumah amal tersebut. Untuk itu dibuatkan satu akte pendirian dan didaftarkan ke Notaris.
Pada tahun 1874, terjadi wabah cacar yang hebat melanda kota Amersfoort. Para suster dengan semangat dan penuh belas kasih bekerja keras menolong serta melayani orang-orang yang menderita itu meskipun mereka tahu bahwa wabah itu juga dapat membahayakan hidup mereka. Namun cinta kasih Tuhan bergema lebih besar di hati mereka daripada rasa takut yang menghinggapi dirinya.
Pada tanggal 23 April 1877 dibangun satu kapel untuk mendukung dan memelihara kehidupan rohani para suster. Kapel itu dibangun di sebelah Rumah Santu Yosef yang kemudian diberkati oleh Pastor Henrikus Blom. Melihat kegigihan dan kesalehan para suster itu, kemudian Pastor Henrikus Blom memohon kepada Uskup Agung Utrecht agar kelompok suster-suster itu dapat diresmikan menjadi satu kongregasi religius. Pada tanggal 18 Juni 1878 ketika Uskup Agung Utrecht mengunjungi Rumah Santu Yosef itu, beliau kagum melihat pelayanan serta pengabdian para suster itu, beliau berjanji untuk membantu permohonan agar kelompok para suster itu dapat dikukuhkan menjadi satu kongregasi religius.
Akhirnya pada bulan Oktober 1878 Uskup Agung Utrecht, Mgr Schaepman mengangkat persekutuan Suster Santu Yosef menjadi Kongregasi (Zusters van der Congregatie van den Hl. Josef). Pastor Henrikus Blom yang diberi gelar kehormatan sebagai Uskup oleh Paus dihunjuk oleh Uskup Agung Utecht menjadi Direktur Kongregasi Suster Santu Yosef. Maka pada tanggal 7 November 1878 tepatnya pada hari pesta Santo Willibrodus, pewarta Injil di Belanda dan pelindung Gereja Belanda, Kongregasi Suster Santu Yosef resmi diakui sebagai lembaga hidup bakti oleh Tahta Suci. Pada hari yang sama para suster mengikrarkan kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan di hadapan Pastor Henrikus Blom. Pengikraran kaul itu sebagai tanda bukti penyerahan total kepada Tuhan dan pengabdian kepada sesama. Sementara Elisabeth Frits, dia tidak mengucapkan kaul di Kongregasi Suster Santu Yosef. Ia tetap sebagai anggota Ordo Ketiga St. Fransiskus, akan tetapi tetap tinggal di Rumah Santu Yosef.
Dengan peresmian sebagai kongregasi, sesuai dengan Konstitusi maka dipilih seorang pemimpin umum. Sebanyak 52 orang suster yang ikut dalam pemilihan tersebut, semua memilih Sr. Agnes van Doorn menjadi pemimpin umum. Maka Pemimpin Umum pertama diemban oleh Sr. Agnes van Dorn yang kemudian segera disahkan oleh Uskup Agung Utrecht. Maria Greshof yang menjadi Sr. Agatha diangkat sebagai Pemimpin Novis. Sr. Agatha memimpin novis kurang lebih enam bulan. Pada tanggal 26 Mei 1879, di usianya yang ke-68 tahun Sr. Agatha meninggal dunia.
Pada tanggal 20 Juli 1884 Mgr. Henrikus Blom yang adalah penggagas dan pendiri Kongregasi Suster Santu Yosef meninggal dunia. Kongregasi Suster Santu Yosef merasa sangat kehilangan namun semangat pengabdian terhadap orang-orang yang sakit dan menderita yang dihayati oleh Mgr. Henrikus Blom tetap hidup dan berkembang dalam karya pelayanan Kongregasi Suster Santu Yosef. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1886, Elisabeth Frits yang adalah perintis Kongregasi Suster Santu Yosef meninggal dunia di usia 80 tahun namun amal kasih, pelayanan dan perjuangan Elisabeth Frits yang sejak awal memberikan diri sepenuhnya merawat orang-orang yang menderita dengan penuh belaskasih menjadi semangat yang terus hidup dan berkembang di hati para suster dalam melaksanakan pelayanan mereka.
Karya yang berkembang menjadikan para anggota Kongregasi Suster Santu Yosef yang semakin bertambah. Semangat pelayanan dan pengabdian terhadap orang miskin dan menderita sungguh dihayati oleh para suster Santu Yosef dan karenanya pelayanan berkembang ke beberapa kota di Belanda.
Pada tahun 1928 Kongregasi Suster Santu Yosef merayakan pesta emasnya dan dua tahun kemudian Kongregasi Suster Santu Yosef mempersiapkan diri untuk menyeberang ke luar dari Belanda.
Pelebaran sayap ke Indonesia

Di kampung Petisah Suster-Suster Santu Yosef memulai karyanya dengan pengalaman yang sungguh berbeda dengan sebelumnya di Belanda. Dalam perlengkapan yang serba kurang, para suster misionaris itu memulai karyanya di bidang pendidikan dengan mengasuh anak-anak orang India yang orangtuanya bekerja sebagai karyawan di perkebunan. Tidak mudah bagi anak-anak itu, karena persoalan bahasa, namun karya itu tetap berjalan atas usaha dan kegigihan para suster. Untuk ibu-ibu orang India mereka dipekerjakan di rumah binatu untuk mencuci dan menyetrika. Namun karena keadaan pada waktu itu sangat sulit untuk membiayai asrama, para suster harus bekerja sebagai tukang cuci dan tukang setrika pakaian untuk dua hotel di Medan. Meskipun keadaan sulit namun para suster tetap berusaha melihat kemungkinan usaha yang dapat dilakukan. Kemudian para suster membuka kursus ketrampilan untuk putri yang disebut sekolah kejuruan Santa Anna dan membuka sekolah Taman Kanak-kanak serta mengasuh anak-anak miskin dan yatim piatu juga mengasuh anak-anak asrama orang Tionghoa dan Belanda yang orangtuanya bekerja di perkebunan.
Masa suram Perang Dunia II
Pecahnya Perang Dunia Kedua menimbulkan kesuraman di Eropa, juga di Belanda. Belanda jatuh kepada kekuasan Jerman pada tanggal 10 Mei 1940. Gereja Katolik lalu dibatasi, bahkan ditindas. Suster-suster dari Amersfoort dipindahkan ke Alpen aan de Rijn, komunikasi dengan Suster-suster di Medan terputus. Di Indonesia terjadi hal yang sama. Tanda-tanda Jepang akan berkuasa di Indonesia mulai terasa. Para suster terpaksa mencari perlindungan dibawah tanah. Semua orang Belanda ditangkap termasuk para misionaris. Keadaan suster-suster dan anak-anak menjadi kacau. Semua anak-anak dipulangkan ke keluarganya masing-masing dan karya yang sudah dimulai harus ditutup. Pastor-pastor dan suster-suster orang Belanda diperiksa/diselidiki dan diintimidasi kemudian ditawan.
Namun masa suram itu mulai terasa berubah ketika pada tanggal 6 – 8 Agustus 1945 Amerika Serikat membom dua kota di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan Indonesia bersiap memproklamirkan kemerdekaannya. Keadaan ini membuat perubahan besar bagi para tawanan dan menimbulkan harapan untuk bebas sebagai tawanan.
Pembentukan Identitas di Medan
Setelah bebas dari tawanan, komunikasi antara Belanda dan Indonesia dapat tersambung kembali. Para suster kemudian kembali lagi berkarya, namun harus memulainya dari nol. Beberapa suster kembali lagi mengajar. Ruang-ruang kelas yang tidak digunakan selama ini digunakan kembali untuk tempat mengajar anak-anak. Sekolah ketrampilan putri juga dibuka kembali.
Karya mulai perlahan berkembang, sekolah pun semakin mendapatkan banyak murid, kepercayaan akan karya pendidikan para Suster semakin tampak. Semuanya itu membutuhkan terutama tenaga dan perhatian.
Para misionaris Belanda sejak awal selalu sadar bahwa kelanjutan karya Kongregasi di Indonesia tidak akan pernah bisa bergantung pada tenaga ketersediaan dari Belanda. Oleh karena itu mereka pun sejak awal sudah memikirkan untuk menanamkan benih panggilan di Indonesia. Para misionaris pun mencoba memikirkan itu, termasuk memikirkan apakah mereka akan dibina di Belanda atau membuka rumah pembinaan tersendiri di Indonesia. Di tahun 1949-1950, mulai dibicarakan dan diupayakan langkah-langkah untuk membuka Novisiat tersendiri di Indonesia. Juga disamping itu sudah ada beberapa gadis datang menyatakan keinginannya untuk bergabung ke dalam Kongregasi Suster Santu Yosef. Pemikiran ini kemudian disampaikan ke Pimpinan di Belanda yang oleh Pimpinan dari Belanda kemudian berkonsultasi dengan Mgr de Jong, yang saat itu menjadi penanggungjawab kongregasi. Mereka kemudian menghubungi Vikaris Apostolis Medan, Mgr Mathias Leonardo Brans, OFMCap, menanyakan pandangannya tentang kemungkinan serta kesiapan proses pembinaan para Suster di Indonesia. Jawaban Mgr Brans, tertanggal 10 Desember 1949, sangat positif, dan mendukung pembukaan Novisiat di Indonesia. Untuk itu kemudian Mgr Brans mengajukan permohonan kepada Tahta Suci, Vatikan. Surat permohonan itupun dikirim ke Roma pada tanggal 17 Januari 1950.
Tidak perlu lama menunggu jawaban dari Vatikan, sebab memang Vatikan sangat mendukung pembinaan imam dan religius setempat, demi kepentingan pertumbuhan serta perkembangan Gereja setempat. Pada tanggal 17 Februari 1950, Sacra Congregatio de Propaganda Fidei, yang membawahi daerah-daerah misi, mengeluarkan keputusan untuk mengizinkan berdirinya Novisiat Kongregasi Suster Santu Yosef di Indonesia, tepatnya di Medan. Maka mulailah babak baru perkembangan kongregasi di Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus 1950 dalam upacara sederhana diterima enam orang calon suster untuk dididik menjadi suster. Hari itu merupakan suatu kebahagiaan dan menjadi berita gembira bagi semua suster-suster bahwa pada hari itu pendidikan bagi calon suster dapat dimulai. Maka tanggal 1 Agustus kemudian diperingati sebagai Hari Pendidikan di Kongregasi Suster Santu Yosef.
BERDIRINYA KOMUNITAS-KOMUNITAS SEBAGAI PERWUJUDAN SPIRITUALITAS.
Seiring berjalannya waktu juga diiringi dengan kemajuan zaman demikian juga karya pelayanan Suster Santu Yosef semakin mengalami tantangan. Kebutuhan umat dalam Gereja-Nya juga kebutuhan masyarakat sekitar menggerakkan hati Suster Santu Yosef untuk terus menanggapi dengan mewujudnyatakannya melalui karya-karya pelayanan seperti:
- Mendidik/ membina kaum muda lewat pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
- Melayani proses pendidikan iman dan moral melalui pelayanan pastoral.
- Melayani orang sakit (Poliklinik), yang berusia lanjut (Panti Lansia), orang yang menjadi korban akibat penyalahgunaan Narkoba dan orang miskin dalam berbagai aspek kehidupan.
- Memberdayakan penyandang cacat (tunanetra dan tunarungu) dan yatim piatu.
Kongregasi Suster Santu Yosef yang berpusat di Medan kini telah mengembangkan misinya di beberapa tempat di kota Medan juga ke daerah-daerah lain hingga ke pulau lainnya. Saat ini Kongregasi Suster Santu Yosef berkarya dalam pelayanannya yang tersebar di 26 Komunitas di delapan Keuskupan di Indonesia yakni:
- Keuskupan Agung Medan
- Keuskupan Padang
- Keuskupan Ruteng
- Keuskupan Surabaya
- Keuskupan Agung Jakarta
- Keuskupan Palangkaraya
- Keuskupan Agung Merauke dan
- Keuskupan Tanjung Selor.