Setitik Asa

“Mungkinkah aku tetap hidup? Kala pekatnya gelap tak mampu kutembus,

pahit menjadi satu – satunya rasa yang harus kutelan

dan tetap bernapas hanyalah cita – cita yang terpaksa kugenggam.

Sampai akhirnya setitik terang harus menemuiku.”

 

“Tiiiiiiiiiiiiiiiit, tiiit, tiit,” bunyi klakson mobil di belakangku membuat jantungku seketika berdetak kencang. Baru saja lampu merah berganti kuning, kendaraan yang sedari tadi berbaris rapi sudah tak sabar ingin melaju. Kutarik napas panjang dan melepaskannya penuh kesadaran. Aku tak mau diburu oleh manusia-manusia tak sabaran. Pelan-pelan aku melaju dengan motor yang sudah lama menemaniku mencari makna di sepanjang jalan yang ku tempuh antara kampus dan rumah.

“Kaaaak…..” seorang anak berusia sekitar 6 tahun tiba-tiba berlari persis di depan ban motorku. Kesekian kalinya jantungku seakan mendapat shock terapy membuat keringatku semakin mengucur deras. Untung saja aku masih bisa mengendalikan motor, sehingga anak itu tak tersentuh oleh motorku. Dengan gemetar aku menepikan motor untuk menetralkan detak jantungku yang semakin tak karuan. Kubuka kaca helm untuk mendapatkan udara lebih. Huuuh, beginilah jadinya kalau sudah setahun tak mengendarai motor lagi. Jadi mudah kaget dengan bunyi klakson atau orang yang tiba-tiba menyeberang.

***

“Dek, sini. Ayo makan.” Suara anak berusia 6 tahun memanggil adiknya. Sebungkus nasi sisa sudah berada di hadapan dua orang anak kecil. Mereka asyik menikmati makanan dengan lahapnya. Tanpa air minum, mereka mengakhiri acara makannya dan langsung beranjak dari tempat itu menuju sebuah gerobak. Anak paling besar, mendorong gerobak sementara adiknya naik ke dalam gerobak.

“Dorong yang kuat Kak, lebih cepat lagi,” seru bocah di dalam gerobak. Nampak jelas kebahagiaan mereka dengan tawa di bibir yang tidak ditutupi masker. Sang Kakak mendorong dengan semangat dan langkah yang ringan. Mungkin karena sudah kenyang.

Baru beberapa saat hampir mendekati sebuah gang kecil, tiba-tiba “plakkk!” Sebuah mobil truk menabrak sesuatu. Tiba-tiba rona ceria di wajah Sang Kakak berubah jadi ketakutan.

Sang Kakak meninggalkan gerobak di tepi jalan dan berlari sambil berteriak. “Ayahku! Ayahku!  Tolooooong!” Dia menjerit sambil menangis. Tapi sayang suara kendaraan menelan jeritan itu. Tak ada yang mendengarkannya. Pengendara truk pun dalam kekalutannya, melaju saja. Mungkin ketakutan akan bayangan massa yang biasanya menghakimi dengan ganas, memaksa supir mengabaikan nuraninya.  Seakan dipicu oleh adrenalinnya, ia melaju lebih kencang walau lalu lintas sedang ramai.

Sang Kakak masih memeluk Ayah yang berlumuran darah tanpa detak nadi. Seorang Bapak berseragam polisi menghentikan motornya. Beliau yang akhirnya membantu menyelesaikan semua proses kecelakaan itu. Walaupun Sang Anak akhirnya harus menerima kenyataan pahit ditinggal Ayah dalam sekejap mata di siang itu.

Semenjak kejadian itu, Sang Kakak menjadi ayah bagi adiknya. Ibunya yang sudah lama lumpuh hanya bisa menemaninya dalam doa di gubuk kecil di bawah kolong jembatan tempat pembuangan sampah.

Aku bertanya-tanya “apakah Polisi tidak berusaha membantu Sang Anak memperoleh keadilan. Kalau pun Sang Pelaku tak ditemukan, setidaknya mereka bisa membantu keluarga anak memperoleh perhatian dari Dinas Sosial. Toh mereka juga melek informasi. Mereka yang melek hukum dan mengerti seluk beluk administrasi kenegaraan setidaknya bisa mengangkat martabat keluarga korban. Mengapa mereka tak melakukannya?”

Seketika itu aku berkhayal “seandainya aku punya wewenang seperti mereka, aku akan memperjuangkan keadilan.”

Realitas itu membuat hatiku galau. Gelisah memandang ketidakadilan yang merajalela di negeriku. Ketika nyawa orang miskin lenyap seketika, tak ada yang bergeming menuntut keadilan. Tak ada pengacara, apalagi pengadilan. Semua seolah selesai begitu saja dan kerabat korban hanya bisa mengelus dada sambil menelan pahit. Coba saja korbannya berduit, jangankan kehilangan nyawa, hanya shock aja, bisa sampai ke pengadilan. Menjadi trending topic selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Huuuh, betapa kejamnya penghuni dunia.

Dalam balutan gelap yang pekat Sang Anak hanya bisa meneruskan perjuangan Sang Ayah menjadi pengepul barang bekas. Hanya satu yang diperjuangkannya, bertahan hidup bersama ibu dan adiknya. Aku bisa menjamin, tak ada bayangan akan mengenyam pendidikan dibenaknya. Sebungkus nasi untuk dinikmati adalah cita-citanya setiap hari.

Tak ada ketakutan baginya menyusuri setiap pinggiran jalan demi mencari barang bekas yang masih bisa dijual. Peristiwa traumatis saat Sang Ayah meninggal dalam kecelakaan di depan mata tak membuat nyalinya ciut untuk tetap berjalan di keramaian lalu lintas. Tak ada waktu baginya memeluk trauma. Perut yang lapar, ibu yang lumpuh, adik yang menangis menahan lapar, menjadi asa untuknya tetap berjuang. Keadaan memaksanya tegar. Walau seakan tanpa harapan, dia tak pernah benar-benar putus harapan.

Seperti gubuk yang tak pernah disentuh cahaya lampu, demikian hidupnya tak pernah disentuh cahaya terang. Di siang hari yang terik, dia masih menggenggam gelapnya hidup yang enggan beranjak.

***

“Kak, kami lapar. Belum makan sejak kemarin. Akhir – akhir ini, tidak banyak botol bekas yang bisa kami kumpulkan.”

“Mungkin saja karena akhir-akhir ini banyak kelompok yang mulai menyerukan semangat ekologi. Jadi tidak banyak botol bekas yang berceceran di jalan.”  Tutur benakku, hingga tersadar dari lamunan akan kenangan  setahun lalu saat saya berbincang-bincang dengan seorang anak kecil di tempatku kini menepi. Wajah yang penuh beban karena kehilangan Ayahnya. Aku memandang wajah yang sama saat ini. Mengingatkanku pada cerita pedihnya tentang truk yang merenggut nyawa Sang Ayah yang sedang menyeberangi jalan.

“Radit, kamu sudah sebesar ini? Mana adikmu?” kataku sambil melepas helm dari kepala.

“Ia dong Kak. Usiaku kan sudah 8 tahun sekarang. Resky, sini.” Anak itu dengan girangnya memanggil anak yang sedang mengorek sampah dengan karung di tangan. “Maaf ya Kak, tadi Resky menyeberang tiba-tiba di depan motor Kakak. Dia adikku yang berusia 4 tahun di dalam gerobak saat Ayah meninggal.” Jawab Radit dengan jelas.

“Bagaimana kabar Ibumu?”

Aku bertanya sambil mengeluarkan kotak nasi dari ransel. Kebetulan tadi jatah makan siangku di tempat magang sengaja tidak kumakan. Wajah Radit seketika berubah sedih. Seperti ketika dia menceritakan kehilangan ayahnya padaku.

Dengan terbata-bata, dia berbicara lirih “Ibu sudah bahagia bersama Ayah, Kak. Sepuluh bulan yang lalu, ketika upaya tata kota sedang maraknya, kami tidak bebas mencari barang bekas karena selalu ada pasukan berseragam yang mengejar kami. Untung kami selalu dapat meloloskan diri. Seringkali kami hanya bisa membawa sebungkus nasi ke gubuk untuk dibagi. Tapi Ibu selalu berkata, dia sudah makan dari orang yang baik hati mengantarkan makanan, supaya kami berdua saja dengan adik yang menikmatinya. Kami hanya percaya dan mengiyakan saja. Hingga suatu malam kami kembali ke gubuk, sudah menemukan Ibu tak bernyawa dengan badan yang kurus kering. Sekarang sumber asaku hanyalah Resky. Aku berjuang agar kami berdua tetap bernapas walaupun dalam gelap yang semakin pekat.” Jawaban seorang anak yang menurutku sangat matang pemikirannya, walau tak pernah mengenyam pendidikan.

Aku tak sadar telah meneteskan air mata. Setahun aku tak melintas di jalan ini karena harus belajar online dari rumah. Kini, setelah aku kembali melintasi jalan ini, yang kutemukan masih kegelapan hidup Radit dan Resky. Kisah hidupnya setahun lalu tak berubah hingga kini. Masih saja tentang kepedihan. Mereka setia memeluk gelap walau tak diingini, hanya untuk memperjuangkan asa yang tersisa.

“Oh iya, tadi Radit bilang belum makan ya? Ini ya untuk kalian berdua. Semoga bisa mengobati laparmu sampai esok Kakak kembali melintasi jalan ini.”

Aku berusaha mengalihkan kesedihan Radit dan Resky dengan senyuman yang jelas kupaksakan. Bukan karena aku tak tulus memberikan makanan itu. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa tersenyum tulus sedangkan hatiku sedang tersayat memandang langsung derita dua insan itu. Luka teramat dalam membuatku juga seakan ikut tertusuk.

“Makasih ya Kak. Kakak baik deh.” Ucap mereka berdua.

“Oke, sampai jumpa besok ya. Kakak mau lanjut pulang ya. Selamat menikmati makanannya,” kataku mengakhiri percakapan, mengenakan lagi helmku, dan menyalakan motor siap-siap melaju.

Ragaku meninggalkan tempat itu, namun hatiku masih tertinggal disana bersama kedua insan yang penuh derita. Aku berjanji akan selalu menjadi setitik terang dalam balutan gelap pada hidup mereka yang lemah.  Menjadi setitik terang untuk menopang asa mereka yang hampir putus asa. Bila kutemukan kegelapan hidup di tubuh yang lain, aku berharap tetap menjadi terang bagi mereka.

 

 

Pesan: “Secercah senyummu mungkin menjadi obat yang dinanti mereka yang terluka; setetes air mungkin menjadi pemuas dahaga mereka; dan sepenggal doamu mungkin menjadi penopang harapan yang setengah hidup mereka bangun. Maka memberi walau sedikit tak pernah mengurangi makna bagi orang- orang yang sungguh menderita di sekitar kita. Mari berbagi dengan sepenuh hati.”

Oleh: Sr. Kallista Sinurat KSSY
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp