(By: Sr. Flavian a Toedi)
St. Yosef adalah tokoh yang telah saya ketahui sejak kecil. Saat orangtua memperkenalkan bahwa Santo Yosef adalahayah dari Yesus, tinggal di Nazaret. Tidak lebih dari itu, tetap saya sadar saya hafal mati bahwa dia adalah ayah Yesus suami Maria. Maka ketika ada cerdas cermat antar sekolah, saat muncul pertanyaan tentang siapakah Santo Yosef itu, begitu cepat kelompokku dan juga kelompok lainnya secara bersamaan menjawab dengan cepat dan tepat. Ternyata bukan hanya saya, orang lainpun mengenalnya demikian: “Santo Yosef adalah ayah dari Yesus”.
Demikian seterusnya, ketika saya sekolah di SPG Setia Bakti Ruteng, nama itu (Santo Yosef) semakin bergema dalam batinku. Terutama ketika melewati pagar Biara Susteran Santo Yosef yang didaerahku lebih dikenal dengan nama Suster SLB. Ada sebuah gerakan dan ketenangan batin ketika menyebut nama itu “Santo Yosef”. Saya akui hanya sebatas itu, ada ketenangan dan keteduhan. Dalam perjalanan waktu nama itu semakin memberikan keteduhan dan keinginan yang kuat untuk mengetahui dan mengenal ada apa dengan para suster SantoYosef. Kekaguman semakin muncul ketika mendapat informasi dan menyaksikan bahwa orang bisu bisa berbicara. Saya berpikir aneh tetapi kenyataannya demikian. Tiga tahun melewati tempat yang sama, entah berapa kali saya melewatinya tetapi satu hal yang tetap menggema dalam batinku Santo Yosef yang tenang dan teduh. Bersamaan dengan itu muncul keinginan untuk masuk biara St. Yosef tetapi tidak pernah berani untuk masuk menjumpai para suster di Biara itu.
Dua tahun setelah tamat SPG, nama itu tetap memberikan suatu dorongan kuat bagiku untuk bergabung bersama Suster Santo Yosef. Akhirnya saya masuk biara dan menyaksikan sendiri bahkan merasakan kehidupan bersama para suster dan karya- karyanya. Hingga akhirnya saya berangkat ke Medan mengikuti pembinaan pada jenjang berikutnya. Pengenalanku tentang Santo Yosef semakin berkembang. Ia bukan saja hanya sebagai ayah Yesus namun teladan hidupnya memberikan arah bahkan kepastian dalam sejarah panggilanku. Catatan refleksi para pembina mengingatkanku bahwa kekuatan dasar para suster KSSY dari teladan Santo Yosef adalah Ketulusan hati (Mat.1:
18- 28). Kata tulus hati yang menjadi sikap dasar Santo Yosef selalu diperdengarkan oleh para pembina, secara pribadi saya mengamininya. Bagi saya ketulusan hati tidak lepas dari sikap jujur, rendah hati, sederhana, tenang dan teguh. Seringkali di saat merenungkan figur Santo Yosef, saya merefleksikan dan menemukan bahwa dalam dirinya terdapat sosok spiritual yang memiliki ketenangan, rendah hati, teguh dan memiliki daya yang tinggi untuk menyelamatkan Yesus dan Bunda Maria. Dalam diamnya ia menjalankan tugas dengan penuh keyakinan, tidak banyak komentar, tenang dan menunjukkan kepada dunia bahwa sebuah permasalahan dapat teratasi dengan sikap diam, tidak membual apalagi memuji diri. Pengorbanan Santo Yosef melahirkan sebuah keyakinan bahwa sikap diam, tenang, rendah hati yang didasari ketulusan hati membawa kabar sukacita bagi manusia yang bukan saja kepada Bunda Maria dan Yesus tetapi kepada siapa saja yang menantikan keselamatan. Maka tepatlah ungkapan ini: “dalam diam terletak kekuatanmu”. Santo Yosef memberikan pengajaran yang mendalam bagiku dan mengantarku pada sebuah kesadaran bahwa dalam diam terletak sebuah kekuatan. Diam bukan saja hanya sebatas tutup mulut, pembawaan tenang, tak menggubris kehidupan orang lain atau menerima apa adanya namun sebuah sikap batin yang dalam kejernihan hati mau berefleksi “melihat, merasakan dan menanggapi serta bertindak dalam segala pengalaman hidup harian”. Bukan pula mengimpikan kenyataan yang jauh melampaui kemampuan manusiawi, tetapi mengimpikan pengalaman nyata yang dipenuhi oleh kekuatan Roh Allah. Pengalaman sederhana ataupun luar biasa kerapkali terjadi bukan karena kekuatan manusiawiku tetapi karena Roh Allah yang mengalir ke dalam diriku.
Sebagai Religius KSSY, saya sungguh mensyukuri munculnya seruan Paus Fransiskus tentang penetapan tahun Santo Yosef: 08
Desember 2020- 08 Desember 2021. Ini adalah sebuah kabar sukacita bagi KSSY yang tentu secara pribadi mengantar saya untuk bersyukur dan terus berefleksi bahwa peran Santo Yosef dalam karya keselamatan menjadi tolok ukur bagiku untuk melihat kembali sejauhmana saya sebagai religius KSSY mampu menjadi khabar gembira bagi sesama tanpa mengabaikan diri. Artinya bahwa dibalik semua upayaku untuk menjadi kabar gembira bagi orang lain, tentu saya harus sadar bahwa saya juga harus mampu membebaskan diri dari kelemahan sehingga saya juga mampu mendatangkan kegembiraan bagi diriku. Saya sadar bahwa perjuanganku masih jauh dari pengorbanan Santo Yosef. Adakalanya dalam menghadapi situasi senja di saat matahari mulai tenggelam, saat itu pula bola mata mengalami kesulitan untuk melihat dengan jelas situasi yang terjadi, saya tergoda untuk berhenti melangkah dan berkata cukup. Saya berhenti sebelum situasi sungguh gelap, dan saya yakin jika kegelapan datang kemungkinan besar saya bukan hanya berhenti tetapi berbalik arah kembali ke zona nyamanku.
Pada tahun Santo Yosef ini, saya sungguh melihat dan menemukan sosok Santo Yosef yang mendengarkan Allah, berjalan dalam gelap, melangkah dengan pasti demi menyelamatkan Bunda Maria dan bayi Yesus. Sebuah teladan iman yang membuat saya selalu berseru “Santo Yosef selamatkan saya, sesamaku dan kongregasiku dari bahaya seperti engkau menyelamatkan bunda Maria dan bayi Yesus dari kejaran raja Herodes”. Dan saya mendapatkan jawaban itu pada waktunya. Bukan untuk disombongkan tetapi saya melihat dan semakin yakin bahwa ketulusan hati untuk berbuat dan bekerja demi keselamatan orang lain adalah sesuatu yang mulia. Tuhan tidak menutup mata, Tuhan senantiasa menuntun, sayalah yang kerapkali lelah karena kurang sabar, kurang yakin bahwa rahmat itu akan datang pada waktunya. Seiring berjalannya permenungan tentang Santo Yosef, saya juga menemukan bahwa kekuatan utama untuk bersikap tenang adalah disaat saya berdiam diri, memohon dan merasakan Roh Allah bekerja dalam diriku. Melalui Santo Yosef saya juga berseru Santo Yosef mohonkanlah kepada Yesus putramu, sudi kiranya mengutus Roh Kudus-Nya untuk menjiwaiku agar pikiran, perasaan dan tindakanku bekerja sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah doa singkatku dipagi hari, sebelum tugas harianku berjalan sebagaimana mestinya.
Akhirnya sayapun harus mengatakan bahwa perjalanan spiritualku bersama Santo Yosef mengingatkan saya bahwa pada awal sejarah KSSY, ketika para pendahulu merintis dan membentuk persekutuan menjadi KSSY, mereka mendapatkan mujizat akan penyelenggaraan Allah dalam doa – doa mereka
melalui perantaraan Santo Yosef. Keyakinan mereka akan pertolongan Santo Yosef membentuk pola hidup dan sikap yang mendorong orang-orang di sekitar mereka menyebutnya sebagai SUSTER SANTO YOSEF. Setelah sekian waktu, pada perjalanan panjang para suster Santo Yosef terlibat dalam panggilan untuk keselamatan sesama manusia, Paus Fransiskus memberikan kejutan tetapi sekaligus kabar sukacita yakni penetapan “Tahun Santo Yosef”. Saya yakin semua suster Santo Yosef bergembira dan bersyukur serta berterima kasih kepada Bapa Paus Fransiskus, untuk seruan ini. Saya juga semakin menyadari bahwa peran Santo Yosef tidak hanya terjadi di abad XIX, bukan hanya di Amersfort tetapi secara terus menerus sampai saat ini. Saya melihat makna spiritual dari peristiwa ini (penetapan tahun St. Yosef) bahwa peran Santo Yosef tetap up to date. Ia adalah anggur baru di zaman ini, karena Santo Yosef selalu siap dengan kantong kulit yang baru. Maka sayapun terdorong untuk selalu bertanya diri dan menjawab dengan pasti bahwa saya adalah religius KSSY yang dipanggil untuk menjadi anggur baru dalam kantong kulit yang baru. semoga!!! “Santo Yosef doakanlah saya”.