Tanggal 21 April 2025 menjadi hari yang tak akan pernah saya lupakan. Sore itu, saat membaca pesan di salah satu grup WhatsApp, kubaca sebuah informasi yang membuat hati ini terhenti sejenak: kabar bahwa Paus Fransiskus telah menghadap Bapa di Surga.
Awalnya, saya merasa jengkel, sebab sebelumnya pernah beredar berita-berita yang tidak benar tentang kesehatan beliau, dan sebagai seorang religius, saya sangat tidak nyaman dengan itu, apalagi hal itu mengenai pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang saya cintai. Namun, semakin banyak informasi yang datang, dengan nada dan isi yang serupa hingga berita resmi dari situs Vatikan menyatakan bahwa Bapa Paus tercinta kini benar sudah kembali ke rumah Bapa.
Saya terdiam lama dalam keheningan. Bayangan sosok Paus Fransiskus muncul jelas di benakku, wajah yang ramah, senyum yang tulus, dan ketulusan hatinya yang begitu nyata dalam setiap langkah hidupnya. Saya teringat kunjungan beliau ke Indonesia, disambut meriah dan penuh haru oleh seluruh umat Katolik, juga oleh saudara-saudara dari agama lain. Kehadiran beliau di tanah air menjadi kunjungan apostolik terakhir yang penuh makna dan kasih.

Paus Fransiskus meninggalkan jejak yang mendalam. Beliau adalah gambaran nyata seorang gembala yang sederhana, penuh perhatian, memiliki jiwa penolong, serta menghargai martabat setiap kehidupan. Dalam kesederhanaannya, beliau menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekuasaan, melainkan pada kasih yang sungguh-sungguh kepada sesama dan seluruh ciptaan.
Seluruh dunia menangis. Tetesan air mata mengalir dalam keheningan doa-doa yang dipanjatkan di berbagai penjuru dunia. Umat Katolik, juga banyak orang dari berbagai latar belakang iman dan budaya, merasakan kehilangan yang dalam. Kehilangan seorang ayah yang telah membimbing dengan sabar, menuntun dengan kasih, dan menunjukkan jalan dengan keteladanan hidup yang sejati.
Suara doa berkumandang dari segala penjuru bumi, bersama menghantar kepergiannya. Itulah bukti betapa besar cinta umat manusia kepada Bapa Suci yang rendah hati. Langit bersedih, burung-burung di udara bernyanyi pilu. Dalam semua suasana itu tetap terermin keindahan, kebaikan, kelembutan yang dibagikannya kepada semua orang, kepada semua makhluk tanpa terkecuali.
Paus Fransiskus tidak hanya memimpin dengan kata-kata, tetapi dengan hidupnya sendiri. Ia menjadi warisan iman yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Warisan tentang keberanian untuk memperjuangkan perdamaian, keadilan. Ia merangkul yang tersisih, mengangkat yang tertindas, menghibur yang sakit, menguatkan yang lemah dan menghormati alam ciptaan Tuhan.
Kini, meskipun beliau telah kembali kepada Sang Pencipta, warisannya tetap hidup dalam hati kita. Ia mengajarkan kita untuk tetap berjalan dalam kasih, tetap setia dalam iman, dan terus berjuang untuk dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih penuh damai.
Selamat jalan, Paus Fransiskus yang terkasih. Doa-doa kami mengiringi perjalananmu. Engkau tetap hidup di hati kami, menjadi cahaya yang tak pernah padam dalam ziarah iman kami di dunia ini. Salam Imago Dei .
Sr. Yohana Manik, KSSY